Jumat, 28 November 2014

Contoh keadaan anak cacat

Berikut adalah beberapa contoh keadaan anak cacat :
a. Buta atau tuna netra
Di Indonesia diperkirakan ada satu juta orang yang buta. Penyebab kebutaan di Indonesia terutama ialah defisiensi vitamin A dan infeksi ( termasuk trakoma ). Penelitian di Amerika Serikat ( 1950 ) mengenai sebab kebutaan pada anak, menunjukkan bahwa untuk anak prasekolah penyebabnya adalah sebagai berikut : pengaruh pranatal ( 37,5% ), penyakit infeksi ( 4,1% ), fibroplasia retrolental ( 46,6% ), cedera mekanis ( 2,8% ), tumor ( 2,7% ), dan lain - lain serta tidak diketahui penyebabnya ( 6,3% ). Kebutaan pada golongan usia anak sekolah ( penelitian tahun 1954 - 1955 ) menunjukkan penyebabnya ialah pengaruh pranatal ( 56,3% ), penyakit infeksi ( 7,5% ), fibroplasia retrolental ( 19,1% ), cedera mekanis ( 5,0% ), tumor ( 5,0% ), penyakit umum ( 0,5% ) dan lain - lain serta tidak diketahui penyebabnya ( 6,6% ). Dengan demikian tampak nyata bedanya masalah di Indonesia dan di negara maju.
Usaha pencegahan dan pemberatasan kebutaan di Indonesia harus dititik - beratkan pada penerangan dan pendidikan gizi, usaha perlindungan khusus terhadap defisiensi vitamin A ( telah diusahakan misalnya dengan pemberian red palm oil dan kapsul vitamin A dosis tinggi ) serta pemberantasan penyakit trakoma. Pencarian kasus, diagnosis dini dan pengobatan yang tepat terhadap penderita defisiensi vitamin A, dapat mencegah kebutaan. Masalah lain ialah rehabilitasi pada kebutaan yang disebabkan kerusakan kornea, yang dapat dilaksanakan dengan transplantasi kornea. Kesulitan yang terutama masih dihadapi ialah mendapatkan donor. Untuk menanggulangi hal itu di Jakarta telah ada Bank Mata dan Perkumpulan Penyantun Mata Tuna Netra. Rehabilitasi lainnya berupa pendidikan dan latihan ketrampilan yang dilakukan di sekolah khusus serta workshop.

b. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
Prevalensi penyakit demam reumatik dan penyakit jantung reumatik akan meningkat dengan berkurangnya penyakit infeksi akut lainnya di negeri sedang berkembang.
Meskipun mekanisme penyakit ini belum begitu jelas, hubungan infeksi Streptococcus hemolyticus grup A di saluran nafas bagian atas dengan penyakit ini telah dapat ditetapkan. Penyakit demam reumatik ini dapat berulang dan menurut Hansen kira - kira 67% serangan ulangan terjadi dalam 3 tahun dan 80% terjadi dalam 5 tahun. Setiap serangan ulangan akan menambah kemungkinan terjadinya gangguan jantung. Deman reumatik jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan lebih sering ditemukan pada golongan usia sekolah dan dewasa muda. Serangan pertama biasanya terjadi pada masa anak yang berakibat penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa yang ditemukan baik pada masa anak maupun dewasa. Tampaknya tidak ada perbedaan prevalensi menurut jenis kelamin, kecuali Korea yang lebih banyak ditemukan pada wanita. Penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah dengan iklim dingin dan basah serta dapat di golongkan dengan penyakit sosial, karena terutama mengenai masyarakat dengan kondisi sosio-ekonomi kurang baik, misalnya perumahan buruk, lembab, penghuni padat, kekurangan gizi dan sebagainya. Prevalensi lebih tinggi pada keluarga tertentu. Meskipun faktor keturunan belum dapat dipastikan secara pasti, ada pula yang menganggap faktor keturunan resesif memegang peranan.

c. Epilepsi
Menurut definisi The American Public Health Association, epilepsi termasuk dalam kategori cacat. Epilepsi merupakan masalah bukan saja di Indonesia, melainkan juga di dunia international.
Menurut Lennox ( 1960 ), penderita epilepsi berjumlah 0,5% dari penduduk dunia, akan tetapi hanya 3% diantaranya yang mendapat pengobatan yang cukup.
Epilepsi sering lolos dari diagnosis. Di Bagian Neurologi RSCM ( 1955- 1958 ) tercatat 2,2% dari pengunjung didiagnosis epilepsi, sedangkan dalam tahun ( 1958-1961 ) tercatat 5,4%. Kalau diperhatikan ternyata bukan karena ada wabah atau peningkatan prevalensi yang sebenarnya, tetapi karena dalam tahun ( 1958-1961 ) tersebut perhatian terhadap epilepsi lebih besar dan diagnosis dilakukan lebih teliti ( Mahar Marjono ). Faktor keturunan menimbulkan pengaruh sosial pula meskipun untuk mendapatkan bukti yang positif tidak mudah. Umumnya faktor keturunan diduga ada, bila faktor oraganik tidak ditemukan.
Pada penelitian Mahar Marjono 30% diantaranya tidak ditemukan faktor penyebab organik, tetapi hanya 17,9% yang diketahui adanya penderita lain di dalam keluarganya. Kejang demam pada anak tampaknya mempunyai hubungan dengan epilepsi.
Nasib penderita epilepsi dalam masyarakat Indonesia masih mengecewakan. Epilepsi pada umumnya masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menakutkan, tidak dapat disembuhkan bahkan dapat turun temurun. Penderita dapat menunjukkan inferiority complex, karena ketidak sempurnaan pengobatan dan sikap serta pandangan masyarakat sekitarnya. Anggapan bahwa penderita epilepsi memiliki kecerdasan di bawah normal tidak benar. Collin dan Lennox ( 1946 ) yang menyelidiki IQ 300 penderita mendapatkan hanya 2,3% yang di bawah normal, 4,7% borderline, 65,9% normal, 27,1% lebih dari normal ( superior ).
Namun dari penyelidikan Lennox lainnya ( 1949 ) didapatkan kesan agaknya ada hubungan antara jumlah bangkitan epilepsi dengan kesehatan mentalnya. Mahar Marjono menemukan 56,7% penderita epilepsi berumur dibawah 20 tahun, sedangkan lama sakit para penderita sebelum diperiksa yaitu 72,4% lebih dari 1 tahun, bahkan 27% lebih dari 5 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar